KETIKA PROSESOR MENJADI PROFESOR :

 STEM (Siap-Tangguh-Empatik-Menyenangkan)  sebagai Kompetensi Guru dalam Menghadapi Serbuan Pembelajaran Digital Komersial di Era Revolusi Industri 4.0

Yuli Ika Lestari)*

Bila Anda merasa makjleb  dengan iklan aplikasi berbayar di televisi dengan tawaran menggiurkan jasa penyedia materi dan video pelajaran bagi siswa, bisa dipastikan Anda tidak sendiri. Hadirnya Dilan alias Iqbaal Ramadhan dalam iklan tersebut, tak pelak membuat guru memiliki saingan berat. Betapa tidak? Selain karena Dilan berhasil memikat siswi kelas menengah untuk merasa klepek-klepek akibat rayuan ‘rindu itu berat’, kehadiran sosok anak muda ala Korea tersebut sukses menambah daftar panjang keminderan dan kecil hati para pendidik. Guru menjadi kalah pamor dengan para artis dan talent  yang dibayar dan didandani sedemikian rupa untuk menarik perhatian dan investasi yang tak sedikit. Implikasi langsungnya, tentu saja produk layanan pendidiikan artifisal tersebut dianggap mampu menggantikan posisi pendidik di kelas. Terus terang saja, guru manapun tentu akan merasa kalah keren dibanding dengan puluhan aplikasi yang dengan mudah diakses melalui satu jari ini. Sebut saja Ruang Guru, Edmodo, Zenius, dan Quipper yang lebih dahulu masuk ke Indonesia.  Belum lagi aplikasi ‘asisten’ pembantu pekerjaan rumah semacam Brainly. Namun jangan salah, bukan hanya siswa yang menjadi target pemasaran layanan tersebut, terbukti para orang tua ditawari dengan iming-iming kemudahan akses belajar dengan satu jari. Melihat semua itu, bagaimana mungkin guru tidak gelisah?

Ternyata kegelisahan itu bukan hanya soal hadirnya pesaing yang lebih segar dan tidak keriput seperti guru-guru kebanyakan, tetapi juga bahwa terasa benar bahwa apa yang digembar-gemborkan soal Revolusi Industri 4.0 adalah sebuah keniscayaan.  Secara iseng penulis pernah menanyai salah seorang siswa yang telah bergabung dengan slaah satu aplikasi berbayar tersebut. Ia mengatakan bahwa ia disuruh orang tuanya untuk daftar les tersebut, meski di luar itu semua, ia masih mendapat jam tambahan di sekolah dan ikut bimbel sebuah lembaga besar.  Mendengar itu semua, tentu kebanyakan guru akan merasa semakin tersudut dan mengerdil sekecil remah-remah rempeyek di dalam toples Hari Raya Idulfitri.

Revolusi Industri 4.0 dan Menjamurnya Aplikasi Belajar

 Suka tidak suka kehadiran teknologi dan pelbagai fitur yang memudahkan kerja manusia adalah salah satu efek langsung dari era digital. Pendidikan pada dinamikanya melaju dalam perspektif kebaruan teknologi dan kemudahan akses informasi.  Sejatinya Revolusi Industri 4..0 menggambarkan tahap efisiensi dengan melakukan komputasi pabrik di Jerman. Anggota kelompok industry 4.0 diyakini sebagai perumus dasar Revolusi Industri 4.0. secara umum revolusi ini menekankan pada siber-fisik, pemakaian internet untuk segala, cloud computation, dan komputasi kognitif.  Beberapa istilah yang awam tersebut apabila diterjemahkan secara bebas sebagai upaya mempermudah akses informasi dan data dalam jumlah besar, terkhusus dalam tujuannya memudahkan tugas manusia, khususnya dalam industry berskala besar.

Memang dalam perkembangan terkini, Revolusi Industri 4.0 memberi dampak pada aspek kehidupan manusia secara luas. Khusus dalam hal ini, wacana besar yang ingin diusung di Indonesia adalah dengan mengintegrasikan pendekatan STEM (science, technology, engineering and math). Pendekatan ini bukan hal baru, namun karena keberhasilannya di Amerika Serikatlah maka beberapa negara di Eropa dan Asia  (Cina, Taiwan dan Malaysia) telah secara intensif menjadikannya sebgai sebuah langkah yang masif dipilih sebagai upaya merespons efek era industry 4.0. Pertanyaan berikutnya tentu saja, bagaimana dengan Indonesia? Siapakah kita dengan pemusatan pembelajaran dengan merumuskan STEM sebagai kunci penggerak transfer pedagogis?

Kurikulum 2013 dan versi revisinya sebetulnya telah memberi ruang aplikasi yang luas bagi berkembangnya rintisan STEM. Artinya bahwa sebetulnya pendidik telah diberi ruang cukup dalam mengembangkan pendekatan saintifik dan literasi digital, misalnya. Kecemasan yang justru menjadi penggerak rasa ragu, alih-alih tidak siap, yang mengemuka menjadi sebuah  paranoia. Ditambah lagi dengan dirilisnya hasil penerapan pembelajaran berbasis STEM yang menempatkan Indonesia jauh di bawah Cina bahkan dibawah jiran terdekat, Malaysia. Apabila rasa terusik mulai muncul maka sebetulnya para pendidik patut berbangga bahwa kegelisahan adalah penggerak perubahan.

Kegelisahan tersebut dalam skala sederhana telah memunculkan artificial enviousness alias rasa iri yang dikondisikan dalam tujuan tertentu, yang bermuara positif tentu saja. Dalam hal ini perlu disadari bahwa guru harus memiliki rasa iri yang demikian.  Melihat fenomena STEM kita perlu iri dengan negara lain. Melihat rendahnya literasi media dan digital siswa kita iri, bahkan melihat siswa lebih suka belajar pada aplikasi sebagaimana ilustrasi  di awal, guru harus memiliki rasa iri.  Guru harus mulai sadar bahwa kehadirannya telah disubtitusi oleh beragam industri aplikasi belajar digital.

Bukan sebuah fenomena aneh khususnya di pendidikan menengah bahwa aplikasi wajib di gawai setiap siswa adalah aplikasi belajar dalam beragam nama dan fungsinya. Salah seorang rekan guru bahkan pernah secara terang-terangan menyatakan kekecewaannya bahwa jawaban yang sama  plek  dari sebuah tugas yang diberikannya, telah diakui secara klasikal bahwa mereka menggunakan aplikasi Brainly. Tentu saja tak bijak bila fenomena ini disikapi dengan apriori terhadap segala perkembangan teknologi atau bahkan menyudutkan kapitalisasi pendidikan dalam segala bentuk aplikasi dan sarana bimbingan belajar. Perlu sebuah perubahan pemikiran mendasar mengapa aplikasi semacam quipper, Ruang Guru dan brainly mendapatkan popularitas melebihi si Umar Bakri yang setiap hari membimbing siswa.

Pertama, adanya jurang antara harapan dan kenyataan. Ini terdengar klise namun sebetulnya bahwa kita sebagai pendidik sering gagal menampilkan harapan siswa saat masuk ke dalam kelas. Inilah fungsi guru sebagai pendengar dan pembaharu yang sesungguhnya. Apabila dokter perlu diagnosis dengan mengajukan sejumlah pertanyaan, maka adalah sebuah satu langkah maju bahwa guru berupaya mengakomodasi kemauan siswa dengan terlebih dahulu menanyakan harapan mereka saat belajar bersama guru di kelas.  Jujur saja, banyak diantara guru yang masih menganggap bahwa tugas mengajar sama dengan era CBSA alias catat buku sampai abis , atau menjadi penyiar radio dadakan alias mendongeng hingga pendengar terlelap. Pendidik perlu meyakini bahwa siswa bukanlah gelas kosong. Mereka telah akrab dengan Google lebih dari yang diketahui guru. Bahkan mungkin mereka belajar merangkak dengan ditemani   alif ba ta tsa-nya Upin dan Ipin.  Secara ekstrem dapat pula dikatakan bahwa mereka lahir dengan menggenggam gawai. Sebagaimana keinstanan yang lain, maka materi yang tinggal klik, teman digital yang setia menjawab semua PR adalah beberapa alasannya.

Kedua, aplikasi tersebut menarik secara audiovisual dan sesuai dengan minat mereka. Disadari bahwa keterampilan siswa dalam mengoperasikan gawai dan komputer  adalah bagian dari bakat alamiah dasar siswa di era ini. Paparan sajian visual yang menarik, bahkan ada layan bertanya pada guru virtual membuat mereka punya pilihan ‘pindah ke lain hati’. Gawatnya guru-guru yang tidak siap merespon hal ini akan menjadikannya sebuah justifikasi atas cap malas dan bodoh yang dilekatkan pada siswa dengan kecerdasan digital semacam ini. Perlu diakui guru virtual lebih menarik, semua teman melakukan hal yang sama jadi apa salahnya? Mungkin demikian yang muncul di benak mereka.  Sedangkan guru sebagai bagian dari pendidikan konvensional muncul di hadapan siswa dengan beragam kondisi yang seringkali membuat siswa ‘malas’ mengahadapi ‘kerewelan’ kita sebagai pendidik.

Ketiga, aplikasi tesebut menawarkan kemudahan dan jaminan keuntungan. Hal ini penulis amati dari beberapa interaksi dengan aplikasi tersebut. Rata-rata meminta keterlibatan dengan memerhatikan ‘paket’ yang ditawarkan.  Harga lebih berarti sebuah kemudahan dalam bentuk lain. Khusus mengenai aplikasi penyedia materi tersebut, bahkan akan ada sesi belajar untu UAS, Ujian Nasional bahkan SBMPTN. Siswa yang merasa perlu bantuan dalam menghadapi beragam bentuk tes tersebut tentu akan merasa tercerahkan oleh aplikasi yang dia bisa dapatkan  dengan mudah sembari menghabiskan kopi di kafe, misalnya.  Di televisi, bahkan tiap akhir pekan ada edisi khusus pembahasan oleh  salah satu aplikasi yang  bukan hanya menawarkan kemudahan belajar, namun juga fasilitas meet and greet  dengan Iqbaal yang memesona.  Bagi siswa sekolah menengah tentu hal itu bagian  kebanggaan dan gaya pergaulan mereka yang instagrammable. Potongan harga dan jaminan konsultasi lebih banyak juga menjadi salah satu daya tariknya. Sebenarnya apa implikasi dari paparan di atas? Mungkin perlu disadari bahwa guru kurang meluangkan waktu untuk melayani siswa di luar jam kelasnya. Terlepas dari gawai yang mereka genggam,  bagaimanapun mereka adalah bagian dari makhluk sosial yang akan selalu semringah dengan sekadar pertanyaan soal nilai mereka dan adakah materi yang masih tidak mereka pahami. Mari salahkan keadaan dan tuntutan administrasi guru yang menggunung dan menyita waktu bahkan untuk keluarga. Namun bukankan semua itu perlu diatur dan itulah sebab mengapa semua tergantung skala prioritas?

Alternatif Solusi : STEM ( Siap-Tangguh-Empatik-Menyenangkan)

            Era industri 4.0 bukanlah sebuah katastrofi yang mendunia dan bukan pula sebuah semata-mata kemudahan dan kenyamanan. Rhenald Khasali dalam bukunya Disruption menyebut era revolusi industri ini adalah sebuah disrupsi, yang secara makna leksikal adalah ‘tercabut dari akarnya’. Dalam hal ini disrupsi didefinisikan sebagai sebuah perubahan model bisnis lama yang dapat secara signifikan mengubah tatanan bisnis yang sudah mapan hingga ke akar-akarnya, sehingga banyak hal yang tdak dapat diprediksi. Salah satu contohnya adalah Toshiba dan Panasonic Indonesia yang terpaksa melakukan PHK besar-besaran akibat dianggap kurang siap menghadapi era disruptif yang serba baru dan cepat.

            Guru dapat pula menjadi korban era disrupsi. Dengan tidak lagi menjadi fasilitator belajar yang ideal sebagaimana harapan para siswa. Untuk itu perlu dipersiapkan beragam kompetensi yang dianggap layak dalam menyongsong era industry 4.0. Kompetensi dasar tersebut dirangkum menjadi STEM (Siap, Tangguh, Empatik, dan Menyenangkan)

Pertama adalah siap. Siap berarti mampu menyesuaikan diri, Jika menilik dari Rhenald Khasali, para manusia yang mengalami era ini perlu mendahulukan sikap adaptif. Sikap ini sebetulnya adalah fitrah manusi dalam bertahan hidup. Sesedehana  proses adaptasi manusia mengevolusi pakaian dari kulit kayu ke kulit hewan dan akhirnya menjatuhkan pilihan pada kapas, maka seharusnya semudah itulah perspektif manusia diubah. Guru perlu beradaptasi dalam menerima perubahan zaman. Memahami peran teknologi dan arus perpindahan informasi dapat membantu mengatasi digital skill gap alias jurang kecakapan digital antara guru dan siswa. Guru perlu memahami media sosial sebagai tren dan kebutuhan siswa, bahkan manusia di era terkini. Sebuah pertanyaan sederhana, apakah guru telah cakap mengoperasikan komputer, memiliki akun Facebook, Instagram dan bahkan mungkin Youtube channel?  Jika sebagian pertanyaan tadi jawabannya adalah tidak, tentu guru akan berada  di dua dunia yang berbeda dengan siswa, sebagaimana lagu Isyana Sarasvati. Bila siswa menyukai sajian materi digital dari aplikasi, berilah mereka pilihan untuk difasilitasi belajar melauli sarana digital. Ajak mereka mengeksplorasi Instagram, menumbuhkan sikap peduli lewat saluran Youtube dan beramal lewat gerakan petisi dunia maya. Maka dari itu, kemampuan mengadaptasi gaya pembelajaran menjadi salah satu kompetensi guru di era revolusi industri 4.0.

Kedua, adalah tangguh. Guru di era  disrupsi haruslah memiliki sikap tangguh dan tidak mudah menyerah. Perkembangan teknologi perlu disikapi secara bijak dan menuntut fleksibilitas pemikiran dan sikap guru sebagai pendidik. Tangguh dapat pula berarti bahwa guru tidak mudah mengeluh dengan kondisi pembelajarannya. Tangguh dapat pula berarti memiliki prinsip mendasar tentang hakikat pembelajaran dan telah teruji dalam berbagai perubahan. Baik itu perubahan peraturan maupun isu dan tantangan terkini.

Ketiga adalah ‘empati’. Era revolusi industri 4.0 menempatkan guru sebagai pengguna dan objek. Namun perlu diingat bahwa dalam UU Guru dan Dosen  No 14 Tahun 2005 dinyatakan bahwa salah satu kompetensi pedagodik guru adalah memahami peserta didik secara mendalam. Dalam hal ini perlu sikap melayani peserta didik dengan mendahulukan empati dalam hal hak dan kewajiban.  Anaka-anak generasi Z sebaagai wakil era industrial ini memang unik dan memerlukan empati lebih. Guru dengan pandangan konservatif akan mengatakan bahwa siswa yang asyik dengan gawainya adalah siswa yang malas atau bahkan bodoh.  Labelling  semacam itu justru akan menutup peluang guru untuk bisa memfasilitasi siswa dalam belajar lebih baik.

Terakhir ialah ‘menyenangkan’. Telah banyak referensi dibuat dengan mendahulukan prinsip pembelajaran yang menyenangkan. Sebuah petuah yang tak lekang oleh zaman ialah “tak ada yang lebih memahami siswa di kelas, selain guru.” Oleh karenanya beragam kecerdasan artifsial  dan aplikasi harus ditantang balik dengan mendahulukan  upaya manusiawi, salah satunya adalah dengan merancang pembelajaran yang memanusiakan manusia. Sikap menyenangkan yang ditunjukkan guru akan melekat kuat sebagai motivasi dan penguat dalam diri siswa. Siswa akan memiliki self esteem  dan ketahanan diri yang baik sehingga mampu menjadi pembelajar yang siap memanfaatkan era digital secara bijak. Guru tak perlu bingung dalam perancangan pembelajaran yang menyenangkan. Cukup dengan pelibatan siswa pada dunia nyata lebih banyak,sebagai penyeimbang aktivitas mereka yang lebih banyak di dunia maya. Guru yang menyenangkan lebih mudah menjadi penggerak perubahan.

Penutup

            Bukan tidak mungkin bahwa Indonesia akan mampu berkontribusi dalam era revolusi industri 4.0. Bukan hanya impian jika pendidikan Indonesia akan dikenal baik dan menghasilkan generasi berkarakter.  Beragam kajian dan alternatif solusi tidak akan berguna apabila di dalam diri masih terdapat hambatan besar, yakni ketidakmauan menyesuaikan diri dengan zaman. Era revolusi industri adalah pisau bermata dua. Ia menjadi peluang sekaligus tantangan. Apabila terlena maka guru akan mejadi tergerus dan digantikan perannya oleh komputer. Maka tidak heran apabila guru enggan bergerak dan berubah, di Indonesia akan banyak prosesor komputer yang menggantikan professor sebagai penyedia ilmu pengetahuan.

*) Pengajar Bahasa Indonesia