Vlog EBI (Ejaan Bahasa Indonesia ): Sarana Penumbuhkembangan Kesadaran Berbahasa Siswa
(Yuli Ika Lestari, S.Pd.)
Apa gunanya pendidikan
Bila hanya membuat seseorang menjadi asing
Di tengah kenyataan persoalannya?
(Sajak Seonggok Jagung-W.S. Rendra)
Saya dan tentunya banyak di luar sana yang sepakat dengan Rendra, bahwa pendidikan akan hanya sia-sia bila tak mampu mendekatkan manusia dengan masalah kehidupan. Siswa yang duduk di bangku kelas hari ini bukanlah anak-anak yang lahir di era yang sama dengan gurunya. Mereka yang hadir di hadapan kita adalah anak yang lahir dari dekade yang menghadirkan zaman seribu wajah digital. Jumlah follower Instagram dan subscriber Youtube menjadi salah satu tolok ukur lazim untuk menjadi gaul dan keren di mata para siswa. Tentu tidak bijak bila era Revolusi Industri 4.0 diantiisipasi dengan melarang siswa menggunakan gawai di sekolah. Mereka lahir dengan fitrah yang baik untuk belajar hal baru. Termasuk menjelajahi media sosial dan aktivitas meramban di dunia maya.
Mengajar kelas XII di tahun ke delapan tentu membuat saya berpikir banyak hal yang tak sama. Bermula dari kegelisahan tentang munculnya ragam bahasa tidak baku dalam karangan siswa akhir-akhir ini, saya mulai melihat ada korelasi antara buruknya pemahaman ejaan dan tata bahasa siswa dengan kebiasaan mereka berbahasa di media sosial. Para siswa lebih suka menulis ‘tau’ daripada ‘tahu’, dan ‘sans’ daripada ‘santai’. Beberapa dari mereka yang menggunakan istilah ‘nubs’ untuk menyebut ‘pendatang baru’ atau ‘anak baru’.
Dari mana saya paham fenomena tersebut? Ya tentu saja karena saya tergabung dalam satu grup Whatssapp dengan mereka. Beruntung para siswa kelas saya bukan tipe yang ‘jaim’ dan ‘mencari muka’, sehingga percakapan mereka sangat alami dan khas remaja. Sebagai senior di grup tersebut saya lebih banyak bertindak sebagai wasit yang menengahi bila mulai ada indikasi perundungan, atau ada penggunaan bahasa yang salah dan kurang sopan. Jangan ditanya apakah saya menikmati peran itu. Jelas sekali saya nyaman dan suka dengan berada di grup tersebut. Entahlah dengan mereka. Hahaha…
Di sela-sela pembelajaran di kelas, saya biasa menyisipkan beberapa informasi kebahasaan terkini yang saya peroleh dari literatur dan laman resmi Badan Bahasa maupun Kemdikbud RI. Secara acak saya pun menguji pemahaman mereka melalui kuis trivia atau uji lisan dengan selingan icebreaking. Harapannya tentu saja agar mereka muncul sebagai siswa yang tidak hanya melek teknologi, namun juga melek aturan berbahasa yang baik. Di akhir semester gasal tahun ini setelah melaksanakan Penilaian Akhir Semester beserta pekan remidial, beberapa siswa mengirim pesan pribadi kepada saya “Bu, nilai saya sepertinya turun. Padahal saya ingin masuk jalur undangan PTN, Bu. Bolehkah saya meminta tugas tambahan?” Mulanya saya hanya merespon bahwa remidial yang dilakukan tapi belum mencapai kriteri akan dilakuka remidial ulang. Setelah melihat banyak pesan dan permintaan khusus siswa yang mengeluh nilai mereka turun, saya mulai berpikir ulang.
Bagi Anda guru SMA sederajat tentu paham bahwa salah satu jalur penerimaan mahasiswa baru adalah SNMPTN. Jalur tersebut sangat bergantung pada nilai rapor siswa tiap semesternya. Entah sejak kapan ini terjadi, yang jelas bahwa sebagian siswa kelas XII di sekolah saya akan panik dan kebakaran jenggot istilahnya, apabila mendapati nilai mereka turun atau bahkan terjun bebas dari semester yang lalu. Melihat capaian kakak-kakak kelas di sejumlah PTN impian tentu akan menjadi pemacu semangat tersendiri bagi para siswa.
Akhirnya, demi memenuhi rasa keadilan tersebut, saya putar otak. Satu hal yang saya sepakati bahwa semua siswa berhak memperbaiki nilainya asal sesuai dengan kaidah penilaian yang adil dan berimbang. Kedua, saya mendata sejumlah alternatif yang bisa dipilih siswa. Alternatif tersebut berupa kelompok kecil dan individu. Ada pilihan untuk menyumbang satu buku nonfiksi beserta presentasi resensinya, membuat satu poster yang dikutip dari buku favorit mereka, mengunggah video pembacaan puisi karya sastrawan terkenal di youtube, mengunggah video musikalisasi puisi di youtube, dan yang terakhir adalah mengunggah video vlog mereka dalam menganalisis kesalahan penerapan aturan kebahasaan di masyarakat. Nah, tugas terakhir inilah yang ternyata mendapat respon meriah dari siswa. Setelah saya menempel sejumlah pengumuman di mading sekolah, sejumlah siswa mulai menodong beragam pertanyaan. Terbanyak tentu saja soal membuat vlog yang tadi. Padahal secara kemampuan untuk merekam, mengedit dan mengunggah di kanal Youtube buat saya pribadi tentu akan berat dan memerlukan waktu. Tapi itulah ajaibnya, siswa bisa sangat tertantang dengan tugas baru yang notabene memerlukan keterampilan digital lebih. Tampaklah jurang generasi ini sangat menganga, hingga saya terharu sekaligus merasa semakin berumur.
Antusiasme mereka membuat saya cukup gemes sehingga perlu membuat semacam pemberitahuan ke semua grup Whatssapp kelas. Batasan saya telah cukup jelas di sana. Mereka boleh menemukan bentuk kebahasaan yang kurang tepat, kemudian diulas dengan gaya mereka sendiri. Jujur saja saya ikut tertantang dengan tugas ini. Tidak sabar menunggu hasil lebih tepatnya. Membayangkan bahwa akan ada video kocak dan segar ala mereka di saluran Youtube masing-masing. Selama seminggu tenggat waktu yang saya berikan, beberapa pesan masuk dari siswa. Mereka menanyakan mengenai apakah boleh menggunakan efek ini itu, apakah mereka juga boleh menambah durasi dan sebagainya. Terus terang sebagai orang yang tidak paham mengenai ilmu mengedit video dan menunggahnya di media sosial, saya iya-iyakan saja. Maaf ya Nak, gurumu ini gaptek , batin saya.
Mungkin banyak yang bertanya-tanya mengenai alasan pemilihan vlog “Bahasa Indonesia di Sekitar Kita” sebagai salah satu cara yang saya pilih dalam menumbuhkan karakter positif siswa. Pertama, sebagai guru tentu disadari bahwa siswa berkembang dan berinteraksi dengan beragam media di luar sana. Sebut saja media sosial dalam berbagai bentuknya telah lebih mereka kuasai dibandingkan kita, gurunya. Saya pun menyadari termasuk bahwa banyak bentuk perilaku dan sikap berbahasa siswa yang dipengaruhi oleh gaya bahasa selebgram, situs-situs hiburan, kanal Youtube tentang gim , maupun tayangan dari pemilik naravlog yang dengan rajin mereka like dan subscribe. Lihat saja naravlog terkenal semacam Ria Ricis, Atta Halilintar, Korea Reomit, bahkan level aplikasi Tiktok dengan Bowo Alpenliebe-nya lebih dipahami mereka. Jangan dikira saya paham karena saya suka berlama-lama menyaksikan video mereka. Ini semua pun saya ketahui dari seringnya mereka berbicara santai tentang banyak hal dengan saya sepulang sekolah. Alhamdulillah, sedikit tahu hal-hal demikian membuat saya mudah masuk dunia mereka.
Sebagai guru saya harus sadar bahwa ini adalah fenomena sekaligus tantangan zaman Revolusi Industri 4.0. Dalam pikiran saya alangkah lebih baik apabila saya mengedepankan aspek kesenangan mereka terhadap vlog dan produk dunia digital masa kini, dengan kemampuan berbahasa Indonesia praktis. Dalam skala kecilnya mereka harus mampu menerapkan tata aturan kebahasaan bahasa Indonesia, meskipun masih terbatas pada analisis kesalahan berbahasa Indonesia. Sangat disayangkan apabila keterampilan bahasa Indonesia tidak mampu mendekatkan mereka pada kehidupan nyata. Selain itu, tentu dari hati terdalam ,saya ingin mereka menyukai pelajaran bahasa Indonesia dan sedikit banyak akan merasa bangga dengan bahasa nasionalnya ini.
Akhirnya pada menjelang hari pengumpulan suara telepon cerdas di genggaman berbunyi berkali-kali. Pemberitahuan pesan dari anak-anak tercinta. Saya lihat ada beberapa pesan masuk dan link Youtube untuk masing-masing tugas mereka. Dengan penasaran dan sekaligus berdebar-debar saya lihat satu persatu. Alhamdulillah lumayan baik, bahkan beberapa yang tampak pendiam begitu banyak nyerocos-nya di vlog yang dia kirimkan. Syukur bahwa mereka menerapkan sedikit dmei sedikit apa yang mereka ingat dari sesi kuis-kuisan dengan saya beberapa waktu lalu.
Dari beberapa video yang masuk memang belum sempurna. Ada yang masih menyapa dengan menggunakan kata ‘gaess’, tetapi ada pula yang sudah baik dengan menyebut ‘teman-teman’. Ada beberapa yang tanpa sengaja menyelipkan kata-kata berbahasa daerah atau bahasa asing. Tak mengapa, ini sudah cukup baik untuk awalnya. Nanti perlahan tentu akan diingatkan dan disemangati agar mereka terus berproses menjadi lebih baik lagi. Saya pun yakin mereka telah susah payah mengerjakan proyek ini dengan sepenuh hati.
Menyaksikan vlog mereka dari satu toko ke toko lain, dari satu tempat wisata bahkan ke kompleks perkantoran menjadi hiburan tersendiri bagi saya. Apalagi jika ada komentar dari warganet lain yang mengatakan “Sangat bermanfaat sekali, Kak.” atau “Baru tahu soal itu dari vlog ini”, membuat saya bangga dan haru. Itu artinya bahwa karya anak-anak saya diapresiasi dengan baik karena dianggap informatif dan bermanfaat bagi orang lain. Apapun karya siswa sebagai guru tentu kita selayaknya memberi penghargaan dan doa yang tulus. Bukankah demikian seharusnya? Semoga ke depan saya pun dapat memacu diri sendiri untuk lebih mendidik dan memberikan pengalaman berharga bagi para siswa.
LINK TERKAIT
Komentar Terbaru