Bojonegoro, 28 Maret 2021
MAKNA DI BALIK TEMBANG MENTHOG
Oleh:
INDAH KHURNIASARI
Masyarakat Jawa menempatkan pekerjaan dalam posisi yag unik. Sebagaimana diketahui bahwa bekerja dalam bahasa Jawa memiliki padanan kata nyambut gawe yang dapat dikatakan bahwa ia terdiri atas dua kata yakni, nyambut dan gawe. Tingginya pemahaman spiritualitas manusia pada aktivitas bekerja menjadi ciri budaya Jawa yang dikenal argraris. “Nyambut’ bermakna meminjam. Meminjam di sini dapat dipahami sebagai kesadaran batin bahwa manusia hendaknya ingat bahwa apa yang diusahakan di dunia semata-mata pinjaman dari Yang Maha Kuasa. Secara khusus dalam berkerja terdapat beberapa prinsip atau sikap yang hendaknya diteladani atau diugemi dalam konteksnya sebagai manusia makhluk Tuhan. Tembang dolanan sebagai sarana internalisasi nilai pun dianggap berperan penting dalam masyarakat Jawa. Sebagai contoh adalah lagu berjudul “Mentok-Mentok” di bawah ini.
MENTOK-MENTOK
Mentok..mentok tak kandhani Mung mlakumu angisin-isini Mbok yo ojo ngetok, ana kandhang wae Enak-enak ngorok oranyambut gawe Mentok..mentok mung mlakumu Megal-megol gawe guyu |
TERJEMAHAN BEBAS:
Mentok (Itik)
Mentok..mentok saya kasih tahu
Cara berjalanmu itu memalukan
Kamu jangan memperlihatkan diri, sembunyi dalam kandang saja
Malah enak-enak mendengkur tidak bekerja
Mentok..mentok cara berjalanmu itu
Menggoyang-goyangkan pinggul sungguh membuat tertawa.
Di baris pertama dikatakan dalam tembang bahwa metafora atau perumpamaan manusia di sini adalah dengan binatang enthog. Diketahui bahwa enthog yang secara fisik merupakan unggas berbadan pendek, kaki yang relatif pendek dan badan yang tampak bulat dan penuh. Kesan sebagai binatang yang ‘kegemukan’ sering disematkan pada binatang ini dalam perumpamaan sehari-hari. Binatang ini dipilih sebagai simbol karena menurut masyarakat Jawa enthog binatang yang protektif pada telurnya. Ia dikenal tidak berpergian jauh dalam mencari makan. Berbeda dengan ayam, yang rajin ceker-ceker atau mencari makanan di manapun berada meski jauh dari kandang.
Kesan malas keluar kandang (rumah) dalam baris mbok yo ojo ngetok ana kandang
wae, enak-enak turu ngorok ora nyambut gawe menjadi filosofi yang ingin diajarkan pada anak-anak, selaku generasi penerus bahwa janganlah malas dalam mencari nafkah. Bahkan dianjurkan untuk tidak banyak tidur (bermalas-malasan) dan tidak bekerja. Meski sama diketahui bahwa tentu binatang tidak memerlukan sebuah pekerjaan. Di tembang tersebut juga diaktakan bahwa enthog menjadi bahan tertawaan karena kelakuannya tersebut. Dengan kata lain, tembang ini mengajarkan konsekuensi logis bila seseorang dianggap tidak berkerja, yakni akan menajdi bahan lelucon oleh sekiitarnya. Disinilah secara tidak langsung seorang anak diajari sanksi sosial darri perbuatan yang dilakukannya. Meskipun terkesan remeh dan metaforis, dapat diakatakan bahwa tembang ini telah mampu mengedepankan dua prinsip utama manusia dalam memandang pekerjaan,(1) prinsip kesadaran bahwapekerjaan semata hanya titipan Tuhan, (2) manusia hendaknya bekerja dengan sungguh-sungguh dan tidak mensifati binatang enthog yang malas bekerja.
Komentar Terbaru